Persoalan sosial budaya yang
akhir-akhir ini muncul ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan
Liya adalah adanya pameo bahwa Raja Liya atau Lakina Liya atau Mo'ori
ULiya hanya dipegang oleh sekelompok orang atau golongan tertentu. Padahal menurut data sejarah yang diperoleh dari hasil pendataan, mendapatkan bahwa Raja Liya yang memiliki gelar La Ode setelah La Djilabu
terdapat 25 orang Raja dengan masing-masing marga keturunannya.
Fakta-fakta ini masih dijumpai secara langsung di lapangan berupa adanya
bekas peninggalan Kamali atau Istana
dari Raja-Raja yang pernah berkuasa di Liya diberbagai lokasi/dusun
seperti terdapat di Bisitio, Kareke, Ewulaa, Laro Togo dan Woru. Hanya
saja baik pemerintah daerah maupun para tokoh adat tidak mau memelihara
atau membangkitkan atau mengembangkan/membangun kembali bekas Istana
Raja Liya ini akibat dari kurangnya mereka mendapat informasi sejarah
disamping adanya komunitas tertentu yang berupaya politisasi sosial
budaya dalam lingkungan benteng keraton Liya.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa sejak bangsa Jepang
berkuasa di Indonesia mulai tahun 1942 sampai 1948 banyak rakyat yang
sengsara akibat dilakukannya kerja paksa. Para
Raja-raja yang berkuasa dizaman jepang ini mau tidak mau terpaksa harus
mengikuti pola kerja paksa Jepang dalam memerintah masyarakatnya
sehingga rakyatpun tidak ada sela setiap harinya sudah diberi lahan
untuk melaksanakan kerja paksa dengan target waktu yang ditentukan.
Tidak sedikit rakyat yang wafat dan bahkan cacat seumur hidup akibat
dari pelaksanaan kerja paksa ini. Akibat dari kerja paksa ini rakyat
terpaksa diperintahkan untuk mengambil batu dari pagar benteng (tondo)
keraton Liya bagian atas atau keseluruhan. Akibatnya yang kita jumpai
saat ini di lapangan tinggi benteng tinggal terdapat sisa rata-rata
antara 1,00 sampai 1,50 meter dari seharusnya tinggi aslinya mencapai 3
,00 meter. Bahkan untuk Benteng Keraton pada lapisan kedua (zone dua)
hampir secara keseluruhan telah punah karena material batuannya telah
digunakan untuk bahan pondasi jalan. Pada zaman Jepang ini yang
berkuasa sebagai Raja Liya yang diperkirakan mulai dari tahun 1923
adalah La Ode Taru.
Pada masa kepemimpinan La Ode Taru mengadakan perlawanan kepada Romusa
Jepang yang ditugaskan di Liya karena beliau tak tegah melihat
kesengsaraan rakyatnya yang diperintah kerja paksa dan di siksa. Pada
konteksi inilah cikal bakal Raja Liya La Ode Taru di
bawa oleh tentara Jepang ke Kendari untuk mendapat hukuman dan beliau
wafat di Kendari di Kota lama. Pada masa Romusa inilah terjadi kerja
paksa di desa Liya atas desakan tentara Jepang dimana masyarakat setiap
harinya tanpa kecuali di perintah untuk kerja paksa dan bagi yang tidak
ikut akan diberi denda dan sanksi berat tanpa suatu keadilan berupa
hukuman cambuk atau tidak diberi jatah makan.
Walaupun demikian kerusakan benteng tidak hanya terjadi pada masa masuknya Romusa tentara Jepang di Liya namun jauh-jauh hari sebelumnya sejak ditanda tanganinya Perjanjian Asyikin-Brughman Tahun 1902 tentang wajib pajak seluruh wilayah kesultanan buton, maka saat itupula secara sembarangan Benteng Liya, khususnya pada lapis ketiga (zone-3) batuannya telah diambil oleh petugas-petugas Belanda untuk dijadikan sebagai bahan pondasi pelabuhan, breack water dan lainnya, disamping sebagai bahan pagar/tondo kebun bagi masyarakat lokal. Dengan demikian saat ini hampir sebagian besar atau sekitar 2/3 bagian panjang Benteng Lapis ketiga (zona-3) ini telah punah. Data-data arkiologis di lapangan masih bisa diketemukan bekas-bekas Benteng lapis ketiga ini yakni dengan ditemukannya benteng-benteng atau baluara Patua dan mudah-mudahan Tim Balar Makassar akan segera mengungkap secara mendetail keberadaan Benteng Liya lapis ke tiga tersebut yang rencana akan aksi tahun 2013 mendatang.
Pada masa romusa tentara Jepang masuk ke Liya banyak mantan (yaro) Lakina Liya atau Raja Liya atau Mo'ori ULiya beserta keturunannya melarikan diri berhijrah menuju ke Ternate, Maluku, Seram, Ambon, Irian Barat dlsb karena merasa harga diri mereka sebagai bekas Raja terinjak-injak akibat dari perlakuan semena-mena bangsa Jepang pada saat itu. Dalam konteksi demikian ini maka secara polarisasi pamor kekuasaan para Raja Liya sebelum masuknya eomusa ke Liya dari waktu kewaktu makin absurd dan hilang dari percaturan opini masyarakat Liya hingga terjadi pengkaburan nilai-nilai sejarah. Oleh Karena itu sudah saatnya tiba untuk meluruskan hegemoni konflik sosial budaya ini dan melalui wadah Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLI Indonesia menghimbau kepada semua elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh budaya untuk kembali ke khittah Raja Liya Pertama La Djilabu.
Oleh karena itu mengingat begitu kompleksnya permasalahan sosial budaya dalam lingkungan masyarakat Liya maka Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLi Indonesia telah melapor ke Presiden Republik Indonesia, Menteri Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia demikian juga ke Bupati Wakatobi untuk segera menganggarkan pembangunan proto tipe bangunan istana para raja-raja Liya yang pernah berkuasa untuk dibangunkan istana atau Kamali di bekas lokasi istananya yang telah punah yang sebagian besar tinggal tanah yang kosong disamping juga segera membangun Pusat Informasi Kebudayaan Liya yang berpusat di dalam keraton Liya. Dalam kesempatan itu Bupati Wakatobi Hugua sangat antusias dan mendukung penuh program tersebut dan memerintahkan Lembaga KabaLi untuk mengusulkan anggaran dimaksud untuk segera dibangun Tahun Anggaran 2013. Demikian juga Kementerian Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia telah setuju untuk digulirkan dana Dekonsentrasi/DAK untuk membantu pembangunan ini melalui DIPA Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara yang rencana akan digulirkan tahun 2013 mendatang.
Berdasarkan naskah Hikayat Negeri Buton (HNB) menyebutkan bahwa Sipanjonga pernah menjadi Raja di Liya. Demikian pula DR. La Niampe,M.Hum saat kami konfirmasi keberadaan Raja-raja di Liya masa lalu mengatakan bahwa Simalui pernah juga singgah di Liya untuk memerintah disana sebagai Raja Liya. Menurutnya berdasarkan naskah yang dimiliki dari negeri Belanda disebutkan bahwa Benteng Liya dibangun akhir abad ke XI. Rachmad Hendiarto dalam beberapa tulisan lepasnya di media ini mengatakan bahwa keturunan Wangsa Rajasa pernah juga memerintah di Liya mulai sekitar abad XIII. Pembuktian etafak, artifak dan situs tentang keberadaan mereka masa lalu dapat di lihat dari spesifikasi struktur pasangan benteng Liya, model pintu-pintu Lawa, Baruga, Batanga, Yoni dan Lingga, Pohon sirikaya berpasangan dengan pohon delima, bunga cempaka, pohon beringin besar di kareke, model-model makam kuno. Selain itu beberapa tempat bernamakan khas seperti Untukoloro (bahasa jawa : untu loro, giginya dua), simpora (bahasa jawa : simpo ora, artinya orang dilarang bersujud atau menyembah), Tamba'a (bahasa sunda : air pengobatan/air keramat), melebaki (bahasa jawa : melek baki, membawa baki sambil mengolok-ngolok atau mengejek) dlsb. Menurut La Ode Muhammad Syarif Mukmin dalam bukunya "Sejarah Buton" dikatakan bahwa wilayah-wilayah kerajaan di lingkup wilayah toritorial kerajaan buton nanti baru masuk dalam wilayah kekuasaan toritorial raja buton setalah Raja Buton ke V yakni bernama Raja Mulae berkuasa mulai Tahun 1498 - 1538. Sebelum berkuasanya raja ini, wilayah kerajaan Liya berdiri sendiri dengan memiliki Raja dan kekuasaan sendiri.
Walaupun demikian kerusakan benteng tidak hanya terjadi pada masa masuknya Romusa tentara Jepang di Liya namun jauh-jauh hari sebelumnya sejak ditanda tanganinya Perjanjian Asyikin-Brughman Tahun 1902 tentang wajib pajak seluruh wilayah kesultanan buton, maka saat itupula secara sembarangan Benteng Liya, khususnya pada lapis ketiga (zone-3) batuannya telah diambil oleh petugas-petugas Belanda untuk dijadikan sebagai bahan pondasi pelabuhan, breack water dan lainnya, disamping sebagai bahan pagar/tondo kebun bagi masyarakat lokal. Dengan demikian saat ini hampir sebagian besar atau sekitar 2/3 bagian panjang Benteng Lapis ketiga (zona-3) ini telah punah. Data-data arkiologis di lapangan masih bisa diketemukan bekas-bekas Benteng lapis ketiga ini yakni dengan ditemukannya benteng-benteng atau baluara Patua dan mudah-mudahan Tim Balar Makassar akan segera mengungkap secara mendetail keberadaan Benteng Liya lapis ke tiga tersebut yang rencana akan aksi tahun 2013 mendatang.
Pada masa romusa tentara Jepang masuk ke Liya banyak mantan (yaro) Lakina Liya atau Raja Liya atau Mo'ori ULiya beserta keturunannya melarikan diri berhijrah menuju ke Ternate, Maluku, Seram, Ambon, Irian Barat dlsb karena merasa harga diri mereka sebagai bekas Raja terinjak-injak akibat dari perlakuan semena-mena bangsa Jepang pada saat itu. Dalam konteksi demikian ini maka secara polarisasi pamor kekuasaan para Raja Liya sebelum masuknya eomusa ke Liya dari waktu kewaktu makin absurd dan hilang dari percaturan opini masyarakat Liya hingga terjadi pengkaburan nilai-nilai sejarah. Oleh Karena itu sudah saatnya tiba untuk meluruskan hegemoni konflik sosial budaya ini dan melalui wadah Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLI Indonesia menghimbau kepada semua elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh budaya untuk kembali ke khittah Raja Liya Pertama La Djilabu.
Oleh karena itu mengingat begitu kompleksnya permasalahan sosial budaya dalam lingkungan masyarakat Liya maka Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLi Indonesia telah melapor ke Presiden Republik Indonesia, Menteri Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia demikian juga ke Bupati Wakatobi untuk segera menganggarkan pembangunan proto tipe bangunan istana para raja-raja Liya yang pernah berkuasa untuk dibangunkan istana atau Kamali di bekas lokasi istananya yang telah punah yang sebagian besar tinggal tanah yang kosong disamping juga segera membangun Pusat Informasi Kebudayaan Liya yang berpusat di dalam keraton Liya. Dalam kesempatan itu Bupati Wakatobi Hugua sangat antusias dan mendukung penuh program tersebut dan memerintahkan Lembaga KabaLi untuk mengusulkan anggaran dimaksud untuk segera dibangun Tahun Anggaran 2013. Demikian juga Kementerian Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia telah setuju untuk digulirkan dana Dekonsentrasi/DAK untuk membantu pembangunan ini melalui DIPA Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara yang rencana akan digulirkan tahun 2013 mendatang.
Berdasarkan naskah Hikayat Negeri Buton (HNB) menyebutkan bahwa Sipanjonga pernah menjadi Raja di Liya. Demikian pula DR. La Niampe,M.Hum saat kami konfirmasi keberadaan Raja-raja di Liya masa lalu mengatakan bahwa Simalui pernah juga singgah di Liya untuk memerintah disana sebagai Raja Liya. Menurutnya berdasarkan naskah yang dimiliki dari negeri Belanda disebutkan bahwa Benteng Liya dibangun akhir abad ke XI. Rachmad Hendiarto dalam beberapa tulisan lepasnya di media ini mengatakan bahwa keturunan Wangsa Rajasa pernah juga memerintah di Liya mulai sekitar abad XIII. Pembuktian etafak, artifak dan situs tentang keberadaan mereka masa lalu dapat di lihat dari spesifikasi struktur pasangan benteng Liya, model pintu-pintu Lawa, Baruga, Batanga, Yoni dan Lingga, Pohon sirikaya berpasangan dengan pohon delima, bunga cempaka, pohon beringin besar di kareke, model-model makam kuno. Selain itu beberapa tempat bernamakan khas seperti Untukoloro (bahasa jawa : untu loro, giginya dua), simpora (bahasa jawa : simpo ora, artinya orang dilarang bersujud atau menyembah), Tamba'a (bahasa sunda : air pengobatan/air keramat), melebaki (bahasa jawa : melek baki, membawa baki sambil mengolok-ngolok atau mengejek) dlsb. Menurut La Ode Muhammad Syarif Mukmin dalam bukunya "Sejarah Buton" dikatakan bahwa wilayah-wilayah kerajaan di lingkup wilayah toritorial kerajaan buton nanti baru masuk dalam wilayah kekuasaan toritorial raja buton setalah Raja Buton ke V yakni bernama Raja Mulae berkuasa mulai Tahun 1498 - 1538. Sebelum berkuasanya raja ini, wilayah kerajaan Liya berdiri sendiri dengan memiliki Raja dan kekuasaan sendiri.
Susunan nama-nama
Lakina Liya atau Meantu,u Liya atau Raja Liya mulai dari zaman Kerajaan sesudah
wilayah kerajaan Liya masuk dalam wilayah toritorial Kerajaan Buton hingga
zaman kesultanan Buton mulai tahun 1542 sampai 1952 (sumber : La Ode Harisi), sebagai berikut :
No.
|
Nama Raja
Liya
|
Tahun
Kekuasaan
|
Keterangan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
|
La
Djilabu
Gara
Gansa Tenda
La
Buru
La
Rampe
La
Ode Ngka’ali
La
Ode Maniumbe
Talo
– Talo (Lakueru)
La
Ode Banggala (Yaro Ahu/Ld. Yani
La
Ode Bunga Tondo
La
Ode Balobamba
Aama
Wa Bunga
La
Ode Ali
La
Ode Hasani
La
Ode Karuba
La
Ode Kundarisi
La
Odhe
La
Ode Kareke
La
Ode Gonda
La
Ode Ikirani
La
Ode Romu
La
Ode Umane
La
Ode Daani
La
Ode Nggole
La
Ode Besi
La
Ode Onde
La
Ode Kaadim
La
Ode Tindoi
La
Ode Adi
La
Ode Taru
La
Ode Bosa
La
Ode Bula
La Ode Harisi
|
1542 - 1588
1588 – 1618
1618 – 1626
1626 – 1652
1652 – 1658
1658
--1674
1674 – 1694
1694 – 1703
1703
- 1712
1712
- 1724
1724
- 1732
1732
- 1750
1750
- 1755
1755
-- 1767
1767
- 1772
1772
- 1780
1780
- 1790
1790
- 1798
1798
- 1812
1812
- 1828
1828
- 1832
1832
- 1836
1836
- 1856
1856
- 1875
1875
- 1891
1891
- 1894
1894
- 1914
1914
- 1916
1916
- 1940
1940
- 1942
1942
- 1952
2012 - sekarang
|
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Sangia
Gola
Asal
Wolio
Asal
Wolio
Menjadi
Sapati Labunta
Asal
Wolio
Asal
Wolio
|
meski ada yang perlu di teliti keabsahan sejarah liya, tapi situs ini menjadi tangga pertama untuk menaiki pengetahuan sejarah liya yang sudah terlupakan oleh masyarakatnya, sendiri
BalasHapus